Jumat, 21 Oktober 2016

Dengarlah Nyanyian Angin



Judul                 : Hear The Wind Sing
Pengarang         : Haruki Murakami
Penerjemah       : Alfred Birnbaum
Bahasa              : Inggris
Penerbit            : Kodansha International Ltd.
Tahun terbit      : cetakan pertama 1979
Tebal halaman  : 130
ISBN                : 9784061860261

Buku ini berkisah tentang sesosok protagonis tak bernama yang menghabiskan liburan semester musim panasnya di kampung halamannya yang terletak dekat laut. Selama delapan belas hari musim panas di bulan Agustus 1970 itu, ia menghabiskan waktu bersama ‘Rat’ di bar milik J, sahabatnya yang mengidap depresi dan terobsesi menulis novel, mendengarkan siaran radio, dan memadu kasih dengan seorang gadis berjari sembilan yang juga tidak disebutkan namanya. Sepanjang cerita, sang tokoh yang kontemplatif ini berulang kali mengenang dan merenungi kisah cintanya dengan tiga perempuan di masa lalu: teman masa sekolah menengahnya, seorang gadis hippie yang ditemuinya di stasiun, dan mahasiswa sastra Prancis yang meski berujar bahwa ia adalah ‘raison d’etre’ (alasannya untuk hidup) namun memilih bunuh diri.

Layaknya seorang perenung yang pikirannya selalu menjelajah, sang tokoh utama tidak hanya menatapi kisah cintanya namun juga hal-hal yang dari permukaan seolah tidak saling berkaitan. Sebut saja tentang piringan hitam yang tak pernah ia kembalikan, tentang gadis 17 tahun yang sakit parah dan menghabiskan waktunya di rumah sakit, tentang siaran radio musim panas, tentang Rat yang tidak pernah mau menyebut seks ataupun kematian dalam novelnya, dan tentang penulis asal Amerika yang memilih mengakhiri hidupnya dengan terjun dari menara Empire State. Membacanya, aku merasa bagaikan membiarkan diriku mengapung mengikuti arus di lautan luas; mengalir tanpa tahu kemana muara dari rentetan kisah yang sulit kutangkap benang merahnya.

Tapi, bukankah hidup memang demikian? Kita tidak pernah benar-benar tahu kemana kita dibawa, dan apa yang hendak disajikan pada kita. Lalu, jika memang hidup penuh ketidakpastian yang pasti membuat kita terombang-ambing, bagaimanakah kita dapat menemukan ‘raison d’etre’ (alasan untuk hidup) itu?


TANPA KOSMETIK
Sahabat, jika kau mencari alur yang menggigit penuh ketegangan, maka kusarankan untuk urung membaca buku ini. Ya, seperti salah satu karya Murakami yang telah kubaca sebelumnya (What I Talk about When I talkabout Running), buku ini bisa dianggap sebagai novel realistik, dan kekuatan karya ini terletak pada kesederhanaan dan kedalaman maknanya. Murakami nampak berupaya menyajikan kisah semirip mungkin dengan realita yang sesungguhnya; tanpa bubuhan kosmetik, tanpa hiasan-hiasan artifisial. Hasilnya adalah tulisan yang dari permukaan tampak sederhana namun mampu menenggelamkan pembacanya dalam perenungan yang dalam.

Sahabat, kita tahu bahwa menjadi sederhana itu bukan perkara mudah. Lebih-lebih saat kita dihadapkan pada perkara kompleks yang sulit dimengerti. Lihat saja pada penggalan ini:

I stared at it in silence, the wind from the water clearing my ears. What I felt at that time, I really can’t put into words. No, wait, it wasn’t really a feeling. It was its own completely-packaged sensation. In other words, the cicadas and frogs and spiders, they were all one thing flowing into space.”

Betapa indahnya ketika aliran hidup dan segala di dalamnya digambarkan sebagai satu paket sensasi yang utuh—yang mengalir dalam kesatuan; seperti nyanyian angin.


HIDUP ITU ...
Keterasingan dan kesepian – itulah dua tema besar yang berkali-kali muncul dalam kisah ini. Terdengar putus asa? Tunggu dulu; justru di sini terletak satu hal menarik: dalam pelbagai kenestapaan hidup, manusia tetap dapat menemukan ‘raison d’etre’ – alasan untuk hidup. Seperti tertulis dalam surat gadis yang terbaring di rumah sakit pada sang penyiar radio:

[...] bahkan dalam pengalaman muram apapun yang kau jalani, selalu ada hikmah yang dapat dipelajari, dan karena inilah aku dapat menemukan kemauan untuk tetap bertahan hidup.”

Sahabat, ada satu hal lagi yang kusukai dari kisah ini : seluruh tokohnya tidak bernama. Kalaupun disebutkan, nama itu adalah nama panggilan. Bagiku, seolah Murakami hendak menyampaikan bahwa pencarian alasan hidup bukan hanya tentang orang-orang tertentu, namun juga tentang kamu, aku dan mungkin semua orang. Ya, pertanyaan “Apa alasanku hidup?” adalah keresahan seluruh umat manusia.

Lalu, apa alasan mekanjutkan hidup yang kisahnya tidak terangkai sempurna ini? Murakami berujar:

“The truth in this life: life is empty. However, help is available. If you know from the outset, it’s almost as if life’s not really meaningless at all.”

[Kebenaran dalam hidup ini: kehidupan ini kosong. Namun, pertolongan selalu tersedia. Jika kamu tahu sedari awal, hidup tidaklah sama sekali tanpa arti.]

Ya, ternyata hidup adalah tentang memberi makna pada perjalanan fana ini.


Salam,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar